NAIN'S HOME

Jumat, 02 November 2007

bersama angin

Bersama Angin

Karya Isnain Khasanah


Berjalan sambil menikmati indahnya cahaya malam memang sangat menyenangkan bagi semua orang. Tetapi tidak bagi Parmin. Lelaki berumur tiga puluh tahun ini sedang dirundung kegelisahan. Bayangan istri dan anaknya yang menunggunya untuk pulang menempel erat di kepalanya mengiringi setiap juntai langkahnya. Hatinya kacau balau. Namun, siapa yang dapat mendengar jerit tangisan hatinya. Bahkan dia sendiri tak yakin bahwa Sang Kholik mendengarnya. Tidak cukupkah dia berdoa selama ini ? Tidak cukupkah dia berikhtiar ? Namun apa hasilnya ? Dia tetap merasa lapar, lapar yang amat sangat menyiksa hati.

Ingatannya menerawang jauh tatkala dia masih menjadi buruh pabrik sepatu. Saat itu semua masih sangat mudah baginya. Tempat tinggal, pakaian mewah, bahkan makanan apapun sanggup ia beli. Hidupnya tak pernah sengsara, yang ada hanyalah kebahagiaan dan senyuman. Namun, sepertinya nasib berkata lain. Ia ikut menjadi korabn keterpurukan ekonomi yang melanda Indonesia. Ia menjadi salah satu dari sekian ribu karyawan yang di rumahkan akibat adanya krisis moneter.

Lamunanya buyar tarkala setitik air menetes jatuh ke keningnya. Ia mendongakkan kepalanya mencari tahu asal air itu. “Gerimis,” bisiknya. Kini ia melihat semua orang berhamburan mencari tempat berteduh. Jalan yang semula ramai oleh lalu lalang, kini menjadi sepi. Pemandangan orang yang berderet di depan balkon-balkon toko di sepanjang jalan sakan menertawakan dirinya yang tetap terpaku memandang hujan. Kini ia sadar ia harus berlari mencari perlindungan kalau tidak ingin tubuhnya semakin basah kuyup. Toh dia juga tak mau kedinginan karena satu-satunya baju yang ia punya basah oleh hujan.

Ia berteduh di balkon toko emas. Sambil mengibaskan bajunya yang basah, ia melirik seorang anak kecil yang berdiri di sampingnya amat sangat lucu dan imut. Ia teringat Budi, anak sulungnya yang kini berumur enam tahun. “Aku harus pulang !” katanya. “Aku tak bisa begini terus, aku harus pulang !” ucapnya lagi.

Setelah hujan reda, secepat kilat ia melangkahkan kaki menuju rumahnya yang terletak tak seberapa jauh dari tempatnya berteduh. Niat sertqa kerinduannya kepada istir dan anaknya mendorongnya untuk semakin mempercepat langkahnya. Tak lama kemudia ia sampai di rumahnya. Mungkin tempat itu tak layak disebut rumah, lebih layak disebut gubuk. Bangunan yang tak lebih dari 3x3 meter itu terbuat dari anyaman bambu dengan beratapkan terpal. Sekedar untuk melindungi diri dari teriknya sinar matahari dan dinginnya angin malam. Tak ada kursi, pagar, bahkan jendela. Rumah ini hanya terdiri dari satu pintu saja yang terbuat dari anyaman bambu pula tentunya. Rumahnya yang dulu dijual untuk biaya operasi sesar istrinya. Kini, ia harus rela tinggal di gubuk demi sang buah hati. Sungguh pengorbanan yang amat besar.

Dengan perlahan ia masuk rumah. Membuat istrinya yang baru tidur sekejap terkejut.

“Bagaimana mas, dapat berapa ?” Tanya istrinya.

“Cuma 2500” jawabnya singkat.

“Ini sih tidak cukup untuk membeli setengah kilo beras.”

Tanpa memperhatikan jawaban istrinya, ia mendekati Dita yang tertidur pulas. Kemudian mencium kening anak yang telah merampas rumahnya itu. Kemudian ia mendekati Budi yang tidur sambil terduduk di samping Dita. Ia pun membelai rambut Budi secara perlaha. Budi yang merasa ada seseorang yang menyentuhnya terbangun.

“Bapak sudah pulang ?” tanya Budi.

“ Iya, bapak sudah pulang. Sekarang kamu bobo lagi ya, udah malam !”

“Tapi pak, Budi lapar ! Seharian ini budi belum makan apa-apa.”

Tanpa berkata apa-apa, ia mengisyaratkan Budi untuk tidur kembali. Anaka itupun menuruti perintah bapaknya. Hal inilah yang merobek hatinya. Ia tidak peduli kalau dia harus menjadi pengamen ataupun pengemis. Ia juga tidak peduli kalau dirinya sedang lapar, yang penting kedua anaknya harus makan. Mereka terlalu kecil untuk merasakan pahitnya penderiatan.

Ia teringat sesuatu, ia pun segera beranjak. Tangannya sibuk mencari sesuatu di antara tumpukan mainan bekas anaknya. “Ini dia !” katanya setelah barang yang diharapakan berhasil ia temukan. Kemudian ia beranjak keluar rumah.

“Bapak ! Bapak mau kemana membawa mainan malam-malam begini ?” Tanya istrinya yang terlihat bingung melihat tingkah laku suaminya.

“Sudahlah kamu gak perlu tahu, yang penting doakan aku berhasil. Nanti kalau berhasil aku akan pulang bawa makanan.”

“Hati-hati, pak !”

Parmin berjalan menyusuri jalan yang sepi, udara malam yang menusuk tulang tak lagi ia rasakan. Matanya telah buta, dibutakan oleh kesengsaraan. Mulutnya telah terbungkam, satu-satunya yang dapat ia katakan hanyalah lapar. Telingannya tidak mampu lagi mendengar, satu-satunya yang dapat ia dengar hanyalah uang. Hatinya telah mati sebab ia sudah tidak percaya lagi kepada sang pencipta. Seluruh panaca indranya mati bersamaan dengan langkahnya.

Kini ia sudah berada di depan toko emas dimana ia berteduh sore tadi. Ia memandang lekat-lekat pintu toko yang sudah terunci rapat. Ia lalu mengambil kayu dan sekita “Prang…,” kaca pintu pecah dan kini sudah ada lubang sebesar raga manusia yang dapat ia gunakan untuk masuk. Baru stu langkah ia masuk.

“Maling ! Maling ! Maling ! Maling!” teriak seseorang.

Biadap mana yang berteriak seperti itu. Tidakkah dia tahu, Tuahn pun akan menghalalkan segala cara kalau sudah dalam keadaan terdesak. Salahkah Parmin yang menghalalkan segala cara ini hanya untuk sesuap nasi, sungguh tidak adil.

“Bedebah !” bisiknya.

Ia terlalu sibuk untuk mendengarkan orang berteriak entah apa saja kepada dirinya.Ia memilih mengambil emas lalu kabur secepatnya setelah tangan dan sakunya dipenuhi oleh kilauan emas, ia bermaksud melarikan diri. Namun seseorang berbaju putih menghadangnya. Ia pun mengeluarkan mainan yang ada disakunya.

“Awas ! Kalau tidak ingin kutembak, segera menyingkir !”

Laki-laki itu pun terpedaya olehnya dan segera menyingkir dari hadapannya.

“Itu pistol palsu ! Jangan takut ! Itu palsu !” teriak seseorang berjaket hitam.

“Brengsek ! Ketahuan !”

Mendengar teriakan pria berjaket hitam tadi, masyarakat beramai-ramai mengerumuni Parmin. Dan “Plak ! Plak ! Bug ! Bug …….” Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kaki yang menempel di tubuh Parmin. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kepalan tangan yang menghujani wajahnya. Tulangnya telah remuk dan kini terkapar tak berdaya di depan toko emas.

“Ih …kasihan ya ! Sampai remuk begitu !”

“Iya kasihan.”

“Ngeri deh ngeliatnya.”

“Kasihan banget sih !”

mungkin hanya kat itu yang mampu keluar dari mulut setiap orang yang mengelilinginya, memandanginya dengan tatapan penuh iba. Mereka tidak akan pernah mengerti seberapa besar penderitaan yang telah dihadapannya. Bahkan mungkin mereka tidak sadar akan gambaran kehidupan yang kelak akan menimpanya, bagi para Parmin-Parmin yang lain.

Kini Parmin telah tertidur di peristirahatan terakhirnya. Dia tidak lagi merasakan lapar. Dia tidak lagi membutuhkan uang. Bahkan ia tidak lagi perlu repot-repot memikirkan bagaimana cara untuk memberi makan anak istrinya.

Kini ia dapat tersenyum bersmaa gerimis yang jatuh membasahi bumi. Hatinya tenang setenang air di tengah lautan. Dan jiwanya ….. Ah jiwanya telah terbang bersama hembusan angin.



Label:

posted by Isnain at 21.14

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home